“?”
Seorang gadis kecil itu terdiam, hanya memandangi
langit yang mulai tidak bersahabat. Tersenyum yah.. dia tersenyum memandangi
langit yang akan menumpahkan bebannya yang berat. Entah karena apa dia
tersenyum, tidak seperti orang lain hanya bisa mengumpat pada hujan ini.
*****
Aku sibuk menyusuri setiap jengkal hal yang aku
temukan saat ini, wajarkan anak kecil sepertiku ingin sekali mengetahui banyak
hal. Aku melihat banyak hal baru yang ditemukan saat ini, seperti anak-anak
yang ceria bebas tertawa tanpa beban, kumpulan ibu-ibu yang sedang asyik
mengobrol sambil sesekali terkejut dengan tatapan tidak percaya. Entah apa yang
dibicarakan aku tidak tahu dan aku juga tidak peduli. Banyak sekali yang aku
temukan saat ini, terutama sepasang senyuman manis yang bahkan aku bisa
merasakan ketulusannya.
Langit mendung. Aku tersenyum melihat langit di sore
ini. Kulihat sekelilingku yang tadi ramai mendadak sepi. Semua berhamburan
menuju peristirahatan yang hangat penuh dengan cinta. Sementara aku… yah aku disini
hanya terduduk sendiri memandangi hujan, yah aku senang melihat hujan, karena
filosofi yang aku ambil dari hujan ini sangat sesuai dengan kehidupanku, tapi
aku tidak berani untuk menumpahkan semuanya. Seperti awan yang putih bersih
tapi adakalanya awan bersih itu menjadi hitam bahkan sangat pekat setelah itu
menumpahkan semuanya jatuh ke dasar bumi membagikan rasa beban yang
ditanggungnya. Itulah aku, aku ini seperti awan yang putih bersih tapi bisa
juga hitam pekat. Seperti perasaan yang selalu aku hadapi, selalu dipendam dan
ditanggung seorang diri sampai menjadi benar-benar hitam. Berbeda dengan awan,
aku tidak bisa menumpahkanya walaupun aku ingin.
*****
Di tempat ini semua kenangan itu muncul. Rasa
senang, sedih, marah semuanya pernah kurasakan. Perasaan itu selalu muncul
disaat aku menjalani hidupku.
“Aku sekarang hidup untuk apa?” ujarku di depan cermin
tapi, sama sekali tidak ada jawaban. Hanya keheningan yang aku dapatkan. Semuanya gelap tidak ada satupun cahaya.
“Aku sekarang hidup untuk apa?” ujarku di depan cermin
tapi, sama sekali tidak ada jawaban. Hanya keheningan yang aku dapatkan. Semuanya gelap tidak ada satupun cahaya.
“Brakkk”
bunyi suatu barang dibanting.
“Ahh tidak bisakah aku merasakan kenyamanan dan ketenangan sedikit saja disini. Ya tuhan aku muak dengan semua ini.” Menahan air mata yang sebentar lagi akan tumpah.
“Yaa” dengan suara yang lantang. Bersahut-sahutan dengan keegoan yang tidak akan ada habis habisnya.
“Ahh tidak bisakah aku merasakan kenyamanan dan ketenangan sedikit saja disini. Ya tuhan aku muak dengan semua ini.” Menahan air mata yang sebentar lagi akan tumpah.
“Yaa” dengan suara yang lantang. Bersahut-sahutan dengan keegoan yang tidak akan ada habis habisnya.
Aku hanya terdiam sambil sesekali terisak menahan
tangisan ini. Menahannya agar tidak ada yang mengetahui apa yang terjadi di
sudut kamarku, terus terisak dibawah rasa yang menyesakkkan dada dan seolah
kehabisan oksigen. Apa aku seorang yang kuat? Tidak, aku rapuh sangat rapuh.
Aku tidak sanggup membawa beban ini, aku lelah dengan semua ini, dan aku ingin
meyerah. Apa daya yang dapat aku lakukan, aku tidak bisa berbuat apapun sampai
detik ini. Bahkan aku tidak tahu harus berbuat apa.
Mungkin ini terdengar agak gila, seorang gadis kecil
yang masih polos bahkan belum mengerti apa itu hidup sudah berani melakukan hal
senekat yang tidak akan pernah dibayangkan oleh anak seumurannya. Menyakiti
diri sendiri, benar menyakiti apa yang sudah melekat di dalam jiwanya, dirinya
sendiri. Gadis kecil itu tidak merasakan sakit saat dengan santainya dia
memukul mukulkan tanganya yang kecil ke tembok keras yang tidak dapat
menghentikan aksi gadis itu. Kini gadis itu hanya tersenyum melihat buku-buku tangannya
terlihat kemerahan hampir mengeluarkan darah.
*****
Aku tersenyum menarik sedikit sudut bibirku ke atas,
ini bukan senyuman terbaikku juga bukan senyuman ketulusan yang sering aku
lihat. Ini hanyalah senyum keterpaksaan yang dapat aku keluarkan.
“Hai…pagi” ucapku hanya berbasa basi memberi salam kepada teman-temanku.
aku melihat sekilas teman-temanku mereka semua tampak tidak terlalu peduli dengan kedatanganku. Yah aku tahu percuma aku bersikap ramah seperti ini, karena aku yakin mereka tidak tulus menggangapku ada, begitupun sebaliknya aku hanya menggangap mereka sebagai pelengkap dalam hidupku.
“Hai…pagi” ucapku hanya berbasa basi memberi salam kepada teman-temanku.
aku melihat sekilas teman-temanku mereka semua tampak tidak terlalu peduli dengan kedatanganku. Yah aku tahu percuma aku bersikap ramah seperti ini, karena aku yakin mereka tidak tulus menggangapku ada, begitupun sebaliknya aku hanya menggangap mereka sebagai pelengkap dalam hidupku.
Aku kembali lagi dengan kehidupanku yang lain. Semua
kehidupan palsu yang aku buat dengan mudahnya sudah menjadi makananku sehari
hari. Aku terlihat tidak gampang menyerah, jarang menunjukkan emosi. Itu semua
hanyalah kamuflase yang aku ciptakan sedemikian rupa berbalik 180° dengan
keadaanku sebenarnya.
Takut hanya itu yang kurasakan kalau aku
memberontak. Takut menghadapi kenyataan yang sudah terpampang di depan mata.
Walaupun aku hanya ingin memikirkan diri sendiri, tapi aku tidak bisa menolak
ini semua. Aku masih butuh pelengkap hidupku senaif naifnya aku, aku tidak bisa
hidup sendiri. Lagipula aku tidak ingin ada orang kecewa dengan sikapku, ada
orang bersedih atas sikapku.
*****
Pasrah. Hanya itu yang bisa gadis kecil itu perbuat
sekarang, menangis lagi di sudut bisu tempat saksi hidup kelamnya. Menahan semua
emosi sebisa mungkin. Terdengar suara isakan kecil dengan napas yang tidak
teratur secara irama. Gadis itu…lagi lagi memulai kebiasan mengerikannya.
Menyakiti diri sendiri, kali ini gadis itu berusaha menahan napasnya, mungkin… menginginkan
kematian.
*****
Apa aku salah jika aku ingin menjadi seperti ini?
Aku suka hidup seperti ini, aku nyaman dengan kesendirian, ketenangan, tidak
ada ambisi dan emosi. Semuanya tersedia di relung hatiku. Tidak bisakah mereka
tidak mencampuri urusanku untuk yang satu ini. Tuhan aku lelah.
Pasrah. Lagi lagi aku menerima ini semua, tidak
bisakah mereka melihat perasaanku yang sesungguhnya. Mengapa harus ada sifat
egois di dunia ini? Aku benci mengatakannya aku juga termasuk salah satu bagian
dari mereka yang menguasai sifat egois. Manusia itu pasti egois, dan aku adalah
seorang manusia. Tapi, benarkah aku adalah manusia? Lebih tepatnya dianggap
seperti manusia selayaknya. Tuhan haruskah aku menyerah…?
Gadis itu duduk di pojok bangunan 15X15 meter. Entah
apa yang ada dipikirkannya, tidak ada yang pernah tau tentang hati seseorang
kecuali dia sendiri dengan tuhannya. Dia hanya bisa meringis kecil, menahan
sakit yang amat sangat dirasakannya. Bukan sakit fisik yang dirasakannya pasti
saat ini, melainkan sakit di sesuatu yang tidak bisa dilihat dan diraba tetapi
amat pedih merasakannya.
“Apa aku pernah menyakiti kalian? Mengapa kalian
berbuat seperti ini padaku?” masih tetap tidak bergeming dari tempat bisunya.
“Apa aku pernah mengecewakan kalian? Apa aku pernah meninggalkan kalian?”
“Jawablah, tolong” menendang batu batu mati yang hanya pasrah menerima perlakuannya.
“Haruskah aku terus bersikap seperti ini terus?” sambil melangkah pergi meninggalkan kesunyian yang mencekam perasaanya.
“Apa aku pernah mengecewakan kalian? Apa aku pernah meninggalkan kalian?”
“Jawablah, tolong” menendang batu batu mati yang hanya pasrah menerima perlakuannya.
“Haruskah aku terus bersikap seperti ini terus?” sambil melangkah pergi meninggalkan kesunyian yang mencekam perasaanya.
*****
Hanya bisa menuggu suatu takdir dari waktu ke waktu
yang akan mengubah seorang gadis kecil menjadi seorang wanita yang bukan wanita
biasa. Menjadi wanita yang memiliki banyak rahasia terpendam dan tetap dapat
menaikkan sunggingan kecil bibirnya. Walaupun entah sampai kapan ada yang bisa
mengartikan suatu senyuman berharga itu.
Depok. 15 Februari 2012
Anita Carolina Wulandari
Hanya sebuah cerita pendek untuk melengkapi tugas dan mengisi waktu.
Hanya sekelumit cerita tentang seorang anak kecil di kehidupan realita.
Komentar
Posting Komentar