Antara ada dan tiada. Mungkin seperti judul lagu yang sempat dipopulerkan oleh
grup band Utopia, tapi itu adalah kenyataan yang terlihat sekarang. Hari peringatan
hanya sebagai suatu tanda yang tertera di kalender untuk saat ini, tanpa pernah dan tak
tahu kapan akan tertera di hati. Semua saat ini diibaratkan hanyalah sebagai simbol
pelengkap saja, tidak ada pemisahan yang jelas antara penanda dan petanda. Mungkin
untuk memahami semua tanda ini, kita harus bersemiotika dahulu dan menemukan
tanda dibalik semua makna yang menjadi objek.
Realita yang terjadi saat ini adalah ketidaktahuan bahkan ketidakpedulian tentang
apa yang sudah dimiliki dan dicita-citakan. Semua yang kita dapatkan hanyalah refleksi
dari suatu keharusan monoton yang sudah terjadi dan kerap kali konvensional, tanpa
tahu cerita dibalik suatu perjuangan pencarian akan makna tersebut. Apakah itu refleksi
yang didapatkan dari semua pembelajaran yang kita peroleh saat ini? Khususnya pada
kalangan Mahasiswa seperti kita saat ini. Refeleksi apa yang dapat kita peroleh saat ini
tentang suatu momentum peringatan yang seharusnya sangat sacral itu. Benarkah kita
sudah mengabaikan hal kecil dan terkekang oleh kesenjangan jaman, serta sudah terikat
dengan segala aturan yang mengikat secara erat oleh sang pengatur yang tak terlihat
(invisible man).
Peringatan yang tak diingatkan. Mulai dari 28 Oktober kita memeringati peringatan
sumpah pemuda lalu kemudian dilanjutkan dengan hari pahlawan 10 November,
bahkan di hari itu juga ada Dies Natalis UNEJ yang ke-48. Dari moment sakral tersebut,
apa dari semua peringatan yang beruntun itu ada yang memperdulikannya atau bahkan
mengingatnya. Walaupun hanya sebatas didalami makna dari peringatan tersebut, yang
mungkin tanpa harus ada perayaan yang menghabiskan biaya yang terlalu besar.
Bisakah kita merefleksikan sesuatu yang sudah ada, yang mungkin saat ini sudah
dilupakan. Lantas apa arti dari tanda peringatan di kalender itu, hanya sebagai
pelengkapkah atau ada unsur lain yang membangun di dalamnya.
Dimulai dari peringatan sumpah pemuda tanggal 28 Oktober kemarin. Sedikit
bercerita historis yang terjadi saat itu adalah para pemuda Indonesia yang
mengucapkan sumpah saat kongres pemuda kedua di Jakarta 27-28 Oktober 1928 yang
Escape | Laporan Utama Hari Peringatan:
Antara Ada dan Tiada
*Anita Carolina|Sosiologi 2012
Escape November 2012
diselenggarakan atas inisiatif Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI). Kami
putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu tanah air Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu bangsa Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan bahasa
Indonesia. Demikian isi teks sumpah pemuda yang diucapkan pada saat itu, yang ditulis
oleh Muhammad Yamin. Sumpah pemuda sendiri termasuk ke dalam pactum unionis
sejarah terbentuknya bangsa Indonesia, sumpah pemuda bisa dibilang menjadi cikal
bakal lahirnya bangsa Indonesia, dan ada yang mengatakan bahwa sumpah pemuda
adalah bukti otentik bangsa Indonesia dilahirkan. Tetapi ada suatu pernyataan
kontradiksi tentang sumpah pemuda tersebut. Ada yang menyatakan bahwa sumpah
pemuda adalah suatu pembelokan sejarah. Itu hanyalah sebagai simbol dari ideologi
yang diciptakan saat itu dengan cara menyisipkan kata sumpah yang sangat sakral.
Bagaimana awal ada semua pernyataan seperti itu? Sumpah pemuda sendiri adalah
suatu makna yang sudah kita pelajari turun temurun. Bagaimana sumpah pemuda itu
sendiri, adalah suatu pertanyaan yang harus kita gali sendiri untuk mencari
kebenarannya. Puaskah jika hanya disuapi saja, tanpa tahu kebenaran dibalik itu
semua? Pertanyaan menggelitik saat ini adalah, masihkah para pemuda Indonesia
memaknai sumpah pemuda tersebut dengan cara yang paling sederhana, yakni
mengingatnya?
Dengan latar sejarah berbeda, tanggal 28 Oktober kemarin. Pihak Universitas
Jember mengadakan upacara peringatan sumpah pemuda di lapangan depan Prodi.
Sistem Informasi. Upacara yang dimulai pada pukul 07.30 WIB dihadiri langsung oleh
Rektor UJ sendiri sebagai pembicara, ada juga para pimpinan pejabat fakultas yang
mengikuti upacara dengan para peserta penerima beasiswa. Beliau sendiri memberikan
pidato tentang bagaimana sumpah pemuda memberikan motivasi untuk mahasiswa
untuk menjadi bibit unggul, mendukung implementasi dari sumpah pemuda, serta
membacakan juga keputusan anti kekerasan. Untuk yang terakhir, beliau juga
membahas isu teroris yang berasal dari alumni UJ. Dengan nada tegas, “Universitas
Jember tidak pernah mengajarkan civitas academica untuk menjadi teroris” ujarnya.
Saat Tim Reporter Buletin PRIMA menemui Rektor UJ di tempatnya, kami
memberikan beberapa pertanyaan seputar sumpah pemuda itu sendiri. “Karena sudah
lama tidak ada upacara Sumpah Pemuda, kemudian pada kondisi sekarang itu ternyata
banyak para pemuda itu sudah tidak menjadikan momen sumpah pemuda sesuatu yang
sangat berharga, bahkan teks sumpah pemuda banyak yang ga tahu. Nah itu kan ironi”.
Ujar Bapak Drs. Moh. Hasan, MSc., PhD selaku Rektor UJ. “Paling tidak
terinspirasilah wawasan-wawasan ke depan itu harus dimiliki terutama kontribusinya
untuk bangsa” tambahnya. Beliau sendiri juga menginginkan banyak yang ikut serta
Laporan Utamal | Escape
Escape November 2012 mengikuti upacara sumpah pemuda, termasuk kepala jurusan serta mahasiswanya.
Tapi, ada kesulitan untuk mengkoordinasikannya.
Beliau sendiri mempunyai pikiran dalam memaknai momen sumpah pemuda.
“Sumpah pemuda itu sesuatu yang punya jangkauan filosofis yang sangat luas.
Bagaimana pemuda yang background sangat beragam itu bisa punya satu ruang. Dan
yang diibaratkan teks sumpah pemuda ini kan suatu lompatan yang luar biasa dari
pemikiran yang terkotak-kotak saat itu. Rektor UJ juga menginginkan sumpah pemuda
punya makna yang relevan untuk diingat kembali oleh para pemuda yang terlalu
primitive. Seperti perkelahian adalah salah satu pola pikir primitive, katanya. Kalau ada
masalah sedikit, langsung berantem. Masalah pasti akan dihadapi, jangan acuh”
urainya. Dilihat dari yang beliau utarakan mengenai para pemuda jaman sekarang,
terlihat bahwa para pemuda sekarang sudah acuh dengan momen-momen penting
khususnya sejarah. Kesenjangan sangat terlihat dari para pemuda yang sibuk dengan
urusannya sendiri tanpa ada usaha memaknai apa itu historis dari suatu nilai yang sudah
ada. Potret kehidupan yang sudah tertanam dalam mindset para pemuda sekarang. Lalu
adakah niatan kita untuk berubah?
Kesan pesan yang diutarakan oleh beliau terkait momen sumpah pemuda sendiri
sangat relevan dengan situasi sekarang. “Saya belum melihat ada greget dari
mahasiswa terkait momen sumpah pemuda. Ada kegiatan apa dari mahasiswa? Ga ada
yang munculkan idenya. Jadi ya itu tadi, karena sepertinya mahasiswa tidak merasa
bahwa itu bukan masalah. Sehingga saya bilang punya program tahun depan ubah jadi
pemuda yang memikirkan momen” ungkap beliau. Rektor UJ sendiri menginginkan
perubahan dari para mahasiswa khususnya UJ, untuk menjadi mahasiswa yang benarbenar
mahasiswa, bukan hanya sekedar menumpang identitas mahasiwa. Jadi, apakah
akan ada perubahan yang dilakukan oleh pemuda jaman sekarang? Mungkin salah
satunya memaknai arti momen peringatan historis itu sendiri.
Tim kami juga memberikan pertanyaan kepada salah satu mahasiswa FISIP tentang
refleksinya mengenai sumpah pemuda. “Kita sebagai orang yang terdidik, harus
menselaraskan ideologi bangsa dengan 4 pilar pendidikan. Bukannya malah tawuran.
Otak yang berpikir otot yang bekerja” dia juga menambahkan “ Jangan meremehkan
historis. Belum tentu historis lebih jelek, belum tentu sekarang lebih baik.” ujar
Darmawan jurusan Kesejahteraan Sosial FISIP 2012.
Lalu, apa sumpah pemuda itu sekarang hanya sebatas sejarah yang hanya diingat
saat itu? Apa pembelajaran yang dapat kita petik dari makna sumpah pemuda? Hanya
sebatas pembelajaran wajib sajakah atau ada hal lain yang menyingkapinya?
Tanggal 10 November, pada hari itu adalah hari pahlawan disertai juga ada Dies
Natalis UJ yang ke-48. Ada dua hari peringatan yang diingati secara bersamaan pada
Escape | Laporan Utama
Escape November 2012
hari Sabtu 10 November kemarin. Kedua peringatan itu sangat berperan penting
terhadap generasi sekarang, baik untuk Indonesia atau mahasiswa UJ sendiri.
Pertanyaan yang muncul lagi adalah, apakah ada yang menghayatinya secara sungguhsungguh?
Atau hanya sebatas upacara formalitas belaka.
Pada 10 November 1945 adalah Peristiwa besar yang terjadi di Kota Surabaya, Jawa
Timur. Perang itu dikarenakan rakyat Surabaya yang tidak mematuhi ultimatum yang
diberikan oleh pihak sekutu yang isinya semua pimpinan dan orang Indonesia yang
bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan
menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas. Hal ini tentu saja ditolak oleh
para rakyat. Akhirnya, akibat dari penolakan itu timbul perang antara tentara Inggris
dan rakyat Surabaya. Tetapi, rakyat tidak menyerah begitu saja. Semangat perang yang
digelorakan Bung Tomo juga menggerakkan semangat para pejuang saat itu, bahkan
perkiraan tentara Inggris yang bisa melumpuhkan kota Surabaya dalam 3 hari ternyata
meleset. Waktu 3 minggu rakyat Surabaya habis-habisan untuk melakukan perlawanan
terhadap sekutu. Walaupun pada akhirnya, kota Surabaya jatuh ke tangan Inggris.
Banyak pejuang yang tewas di pertempuran tersebut. Pertempuran ini lantas menjadi
penggerak bangsa Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaanya. Lantas apa latar
belakang diambilnya hari pahlawan yang bercermin dari perjuangan rakyat Surabaya
ini? Mengingat banyak perjuangan bangsa Indonesia di tempat lain, yang juga sama
berkobarnya dengan Surabaya dalam melawan para sekutu dan menjadi suatu catatan
sejarah terkenang. Hal ini dikarenakan pertempuran di Surabaya adalah perlawanan
pertama dalam melawan sekutu asing setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, dan
mungkin itu adalah pukulan telak bagi bangsa Indonesia sendiri yang baru memulai
membuat suatu perubahan.
Dies Natalis UJ, acara yang memperingati ulang tahun UJ yang ke-48. Saat itu
tanggal 1 April 1957 dimulai dari gagasan dr. R. Achmad bersama-sama dengan R. Th.
Soengedi, dan R. M. Soerachman yang bercita-cita mendirikan perguruan tinggi di
Jember. 5 Oktober 1957 muncul yayasan Universitas Tawang Alun dengan satu fakultas
yakni Fakultas Hukum. Perjuangan dalam mewujudkan cita-cita bersama tersebut
tentu saja disertai berbagai kendala. Mulai dari harus mengumpulkan botol kosong dan
buah kelapa untuk membetulkan gedung, sampai harus dicemooh karena dianggap
suatu ide gila. Tapi, para pendiri UJ tetap optimis dan mempunya tekad yang kuat. Buah
dari tekad itu adalah tahun 1963 Universitas Tawang Alun berubah menjadi universitas
negeri tetapi sebagai cabang dari Universitas Brawijaya (UNIBRA) Selanjutnya tahun
1964 diganti menjadi Universitas Negeri Djember (UNED) dengan 5 fakultas. 9
November 1964 berubah akronim menjadi Universitas Jember (UJ). Hingga saat ini UJ
sudah memiliki 15 Fakultas maupun Program Studi. Bagaimana kita akan menyikapi
Laporan Utamal | Escape
Escape November 2012 semua hasil keringat para pendahulu? Ingat Jas Merah (Jangan Sekali-sekali
melupakan Sejarah) kata Bung Karno!
Para Pahlawan telah berjuang keras agar tewujud kehidupan yang lebih baik. Dari
para pahlawan yang gugur di medan perang saat itu, sampai sumbangan pemikiran serta
tenaga para pendiri UJ. Dari kerja keras tersebut dapat kita rasakan manfaatnya
sekarang. Adanya semangat nasionalisme yang tumbuh dari dalam diri rakyat
Indonesia dalam mengusir penjajah, sehingga kita bisa merasakan yang namanya
Merdeka.
Semua yang sudah diperjuangkan oleh para pendahulu kita, akankah kita diamkan
begitu saja? Tidak ada lagikah rasa untuk memaknai perjuangan mereka dahulu
walaupun hanya sekedar mengingat waktunya, agar tidak hanya menjadi sebatas
penghias kalender saja. Apa hanya cukup dengan menjadi pengikut tanpa ada kemauan
untuk mengembangkan lebih dan lebih apa yang sudah diperbuat dahulu? Apakah
hanya sekedar menjadi peringatan yang tak diingatkan?
10 November kemarin, digelar upacara Dies Natalis UJ yang ke-48. Diadakannya
upacara hari Sabtu pagi tepatnya jam 7. Tema yang diangkat kali ini adalah “
Meluruskan Cita Merajut Mimpi. Demi Bangkitnya Generasi Emas Indonesia” .
Upacara yang dihadiri langsung oleh Rektor UJ Bapak Drs. Moh. Hasan, MSc., PhD
disertai para pejabat kampus. Peserta yang hadir saat itu juga terdiri dari para staff
fakultas serta mahasiswa penerima beasiswa seperti Bidik Misi, PPA, BBM dan
Banyuwangi Cerdas. Ada juga anggota UKM Universitas seperti PMR, Marka Lintas,
dll.
Suasana saat upacara terlihat sangat tidak kondusif. Mulai dari tidak mematuhi
peraturan dengan memakai pakaian tidak resmi, sampai tidak tertibnya barisan setiap
fakultas. Bahkan dari staff kampus dari salah satu fakultas, ada yang terlihat merokok
dan terlihat tidak memperhatikan jalannya upacara sebagaimana mestinya. Kurang
khidmatnya para peserta dalam melaksanakan upacara, menjadikan momen Dies
Natalis ini kurang berkesan dan terlihat seperti tidak ada kesungguh-sungguhan dalam
memperingati Dies Natalies itu sendiri. Berbanding terbalik dengan antusias dari
Rektor UJ. “Berkreasi, kembangkan pemikiran positif. Tidak cukup belajar di bangku
kuliah. Berorganisasi, berlatih justru itu lebih sukses duluan. Waktu jangan dibuang
percuma” ujar Bapak Moh. Hasan selaku pemimpin upacara saat itu. Mendengar
semangat dari beliau sudah seharusnya mahasiswa lebih semangat dalam menunjukkan
potensinya. Bukan malah menunjukkan ketidakpeduliannya terhadap apa yang terjadi.
Bahkan para penggagas UJ dahulu bersusah payah untuk membangun universitas ini.
Kita hanya perlu mengembangkannya menjadi lebih baik dengan menggali potensi diri
kita. Disamping itu, Rektor UJ juga mengungkapkan rasa terima kasihnya pada pihak
Keamanan Kampus.
“ Terima kasih kepada pihak security.
Karena tanpa mereka kampus ini belum tentu aman. Mari kita apresiasi.” Ungkap
beliau.
Acara itu
diakhiri dengan pelepasan balon yang terpasang banner Dies Natalis UJ ke-48
yang dilakukan oleh rector langsung. Ada pengumuman yang mengejutkan selepas
itu. “Bila menemukan banner Dies Natalis UJ, harap kembalikan dan akan
mendapatkan uang sebesar Rp.750.00” kata Protokol upacara. Tentu saja hal ini
mengejutkan para peserta, mengingat hadiah yang ditawarkan lumayan besar.
Selain upacara
dalam rangka memperingati Dies Natalis UJ, ada juga acara sebelumnya yaitu
Minum Kopi Massal yang diadakan doubleway hari Kamis, 8 November 2012. Panitia
menyediakan 48.000 cup kopi secara gratis untuk Masyarakat umum. Adapula semaan
Al-quran, Dzikir Akbar, dan puncaknya di
hari Minggu tanggal 11 November 2012 diadakan jalan sehat yang di buka oleh
Rektor UJ sendiri. Rutenya dimulai dari doubleway melalui jalan Kalimantan –
Jawa – Riau- Mastrip dan diakhiri dengan jalan kalimatan lagi menuju doubleway.
Banyak doorprize yang diberikan bagi peserta Jlan Sehat ini.
Tim kami juga menanyakan
opini kepada salah satu peserta jalan santai tentang acara peringatan ini.
“Perayaan terlalu berlebihan, lebih baik yang biasa-biasa saja tapi acaranya yang berarti, memberi manfaat
pada orang lain” ujar Risnani FKIP 2012.
Selain peserta,
tim kami juga mewawancarai Pembantu Rektor II Dr. H. Akhmad Toha, M.Si. “Upacara
dirangkai dengan hari pahlawan, karena kebetulan bersamaan”, ujar beliau.
Di hari Senin,
tim kami mewawancarai Rektor UJ lagi terkait hari peringatan tersebut. “
Sekarang kita telah lupa bagaimana beliau dulu berjuang, yang kadang-kadang
tidak mengindahkan apa yang telah didapat. Padahal itu yang perlu kita menjadi
kilas balik, kita begini ada yang telah berkorban nyawa, harta, dan semuanya”
ungkapnya. “Pengisinya ini loh sekarang. Jadi, justru kita yang kita
khawatirkan itu kan, yah mohon maaf kita justru terleha-leha atau terlena
dengan suatu dinamika global yang seperti ini” tambahnya. Dari kata-kata yang
diungkapkan oleh beliau, terlihat ketidaksinkronan atas yang terjadi dulu
dengan realita saat ini. Bagaimana semua itu diatur oleh kepasifan aturan dari
lingkungan, yang tidak dapat merefleksikan suatu yang sudah ada dan selalu ada.
“Harapannya
anak-anak muda bisa merefleksikan diri dari perjuangan. Merdeka bebas cerdas berpikir,
tanpa ada yang membatasi” ujarnya. Jika ditarik opini, pembelajaran tanpa ada
batasan mengikat oleh suatu keharusan, berjalan tanpa ada pikiran skeptis yang
membatasi. Saat ini banyak pembatasan yang berjalan secara kasat mata dan
menjadi suatu keharusan tersendiri. Lalu, bagaimana sekarang kita melawan
pembatasan yang tak terbatas ?
“Pembelajaran
dirancang tidak memberikan materi, tapi dapat menggali melalui pemikiran mereka
sendiri. Contohnya diskusi. Muncul kreatifitas mahasiswa tidak destruktif.
Tunjukkanlah kita orang yang bermartabat” ujar sang Rektor. Dari semua
pembelajaran yang diterima saat ini, bisakah kita mencerminkan bahwa kita
benar-benar seorang yang bermartabat baik dari luar maupun dari dalam tidak
hanya berdrama turgi saja yang dipertontonkan. “Kita tidak akan dikenal tanpa
adanya prestasi, dan prestasi tidak akan muncul tanpa ada suatu inovasi” tambah
beliau.
“Apa yang sudah
kita perbuat untuk masyarakat?” tanya Rektor UJ. Pertanyaan yang dilontarkan
oleh beliau tentu menjadi tanda tanya besar untuk kita semua. Apa yang sudah
kita beri untuk masyarakat khususnya untuk universitas kita ini. Bukan terus
mempertanyakan apa yang kita dapat. “Cita-cita luhur harus diiringi dengan
tekad yang kuat” tambah beliau. Sebagai seorang mahasiswa, kita harus dapat
merefleksikan apa yang kita perbuat saat ini.
Ada sesuatu yang
bisa ditelaah dalam peringatan tersebut, ada keterkaitan antara paradigma
berpikir modern dan postmodern dengan simbol yang digunakan untuk merayakan
peringatan tersebut. Diadakannya upacara yang mungkin sudah menjadi suatu kebiasaan dan suatu keharusan
untuk saat ini. Pertanyaannya apakah itu
hanya sekedar simbol yang digunakan untuk merefleksikan hari peringatan
tersebut? Bagaimana cara berpikir postmodern yang tergerus oleh modern itu
sendiri? Di sini tidak akan terlalu banyak membahas tentang apa itu postmodern
tapi bagaimana cara merefleksikan suatu hari peringatan yang sudah terbiasa
dengan adanya upacara yang dianggap sakral dengan melakukan kegiatan lain yang
mungkin terlihat memaknai suatu peringatan tersebut seperti pemikiran
postmodern yang dianggap tidak sesuai dengan modern saat ini. Pluralisme yang
dijunjung tinggi oleh kelompok postmodern menjadi suatu penghalang dalam
memaknai apa itu hari peringatan. Banyak kegiatan lain yang bisa dilakukan
tanpa harus terlibat dengan suatu urusan kerasionalitasan. Tindakan irrasional
yang digunakan untuk memaknai peringatan itu sendiri bisa dengan cara
mengunjungi tempat bersejarah yang menjadi bukti otentik pada masa itu. Itu
adalah suatu tindakan rasional menjadi tidak irasional karena suatu ajaran yang
sudah mutlak mengharuskan ini dan itu. Mungkin itu bisa menjadi suatu nilai
tambah untuk kita merefleksikan tentang hari peringatan yang tidak hanya
sekedar upacara sakral saja. Melainkan dapat menyikapinya juga dengan pemikiran
yang berbeda tapi tetap dengan tujuan semula tanpa ada unsur pembatasan dalam
pemikiran.
Bagaimana
menyikapi pemikiran yang bercabang ini, tanpa ada satu pihak yang merasa kalah
dalam perang pemikiran ini. Ini adalah peran kita untuk terus bertanya dan
mempunyai makna dalam merefleksikan hari peringatan tersebut. Tanpa ada unsur
paksaan tentang keharusan formal yang menjadi formalitas. Dengan keyakinan diri
sendiri dan pemikiran yang matang dalam menilai suatu makna peringatan sakral.
Antara ada dan tiada. Itukah arti dari hari peringatan-peringatan tersebut? Dapatkah kita sebagai generasi penerus bangsa
ini menghargai apa yang sudah diberikan kepada kita. Akankah terus dikenang di hati atau diabaikan dan hanya menjadi penghias
kalender saja.
Komentar
Posting Komentar