Status sosial di
mata masyarakat, mungkin biasa dinilai dari pekerjaan, pendidikan, dan pengaruh
mereka di masyarakat. Semua kedudukan sosial bisa di prediksikan akan masuk ke
dalam suatu kelas. Kelas atas atau kelas bawah (kelas rendah) yang akan di
labelkan oleh para pelaku sosial yang lain. Pembagian kelas social tersebut
seringkali menjadi permasalahan dalam kehidupan social baik secara kelompok ataupun
individu. Terutama untuk para pemegang status rendah. Dengan meminjam istilah
Karl Marx, di dalam bukunya “The
Communist Manifest” menyebutkan bahwa pembagian kerja dalam
kapitalisme dibedakan menjadi 2 yaitu kaum borjuis dan kaum proletariat.
Di mana kedua kaum tersebut saling bertolak
belakang baik dalam kehidupan ataupun status sosialnya yang terlihat jelas. Si
pemilik kaum borjuis mempunyai alat produksi sementara kaum proletariat kalau
memakai istilah kasar adalah bawahan borjuis, untuk mengerakkan produksi
tersebut. Terlihat perbedaan yang mencolok diantara keduanya. Kaum proletariat
yang dieksploitasi tenaganya oleh kaum borjuis.
Disini tidak
akan berbicara banyak tentang perbedaan antara kedua kaum tersebut. Tapi, akan
lebih memfokuskan terhadap kaum proletariat dengan status social rendah di mata
masyarakat. Status social yang dinilai dari pekerjaan yang akan lebih
diutamakan dalam tulisan ini. Pekerjaan seseorang acapkali menjadi pembanding
status social individu tersebut. Apa pekerjaanya, dimana dia bekerja, untuk
siapa dia bekerja. Seringkali ditanyakan oleh individu lain. Itu menjadi suatu
tolak ukur dalam menilai kualitas seseorang tersebut. Walaupun pada kenyataanya pekerjaan mereka berbanding
terbalik dengan pendidikan mereka. Tapi, itu tidak menjadi penilaian
tersendiri. Yang selalu dipertanyakan adalah pekerjaan dan akan menyangkut
dalam status social mereka di mata masyarakat. Pekerjaan dengan status social
yang dianggap rendah contohnya adalah kaum buruh. Seperti yang tadi disebutkan,
para kaum buruh adalah penggerak dalam pembuatan produksi. Kaum buruh dianggap
mempunyai status social rendah di mata masyarakat. Karena masyarakat menelisik
dari pekerjaan dan pendidikan mereka, yang mengakibatkan adanya cap seperti
itu.
Kaum buruh yang
akan dijelaskan disini adalah para buruh yang mungkin tidak seperti istilah
kaum buruh dimata umumnya yang selalu bergemul dengan rutinitas yang padat dan
kotor. Para kaum buruh yang dimaksud adalah karyawan toko waralaba, khususnya
bagian kasir. Para pekerja di belakang mesin ini adalah salah satu status
rendah dalam penulisan ini yang akan dibahas disini. Mereka bekerja untuk orang
lain dengan status social yang berada di atas mereka. Para karyawan ini pun
harus bekerja penuh dan tunduk terhadap peraturan yang dibuat oleh atasan
mereka.
Mereka yang
bekerja sebagai kasir sangat dipertegas dengan segala aturan yang mengikat.
Pekerjaan para
kasir toko waralaba mungkin tidak terlihat seperti pekerja buruh pada umumnya.
Mereka terlihat rapih dengan pakaian kerja dan berpenampilan menarik saat
bekerja. Para penjaga kasir juga selalu setia tersenyum dan ramah kepada setiap
pelanggan yang datang. Terlihat sekali kalau para kasir ini menganggap istilah
“pembeli adalah raja”. Tapi, termasuk apakah kelas social mereka di mata
masyarakat. Ini tentu menjadi pertanyaan, mengingat mereka juga berpendidikan
walaupun hanya sebatas SMA atau SMK saja, karena yang karyawan yang dicari
adalah para tenaga kerja yang berpendidikan dan berpengalaman di bidang yang
akan dikerjakan seperti halnya SMK. Tetapi
ada juga dari pegawai kasir yang berstatus SMA atau SMK tersebut ada
diantaranya dengan status sarjana. Dinilai darimanakah status social para kasir
tersebut?
Para penjaga
kasir tersebut bekerja sebagai bawahan yang harus selalu mengikuti kemauan sang
atasan. Jika tidak mungkin akan ada ancaman pengurangan gaji bahkan pemecatan
secara sepihak. Ini tentu saja memberatkan para penjaga kasir, mau tidak mau
mereka harus mengikutinya.
Jika kita
berkunjung ke dalam toko waralaba, pasti akan mendengar ucapan “selamat datang,
selamat berbelanja” atau perkataan
mereka yang menawatkan produk-produk diskon yang khusus ditawarkan di toko
waralaba tersebut. Lalu saat pulangnya ‘terima kasih, selamat ddatang kembali’ yang
diucapkan oleh karyawan atau penjaga kasir itu sendiri. Mereka harus selalu
tersenyum dan bersikap ramah terhadap pelanggan walaupun dalam keadaan bad mood bahkan tertekan sekalipun.
Sikap frontstage mereka yang
tersenyum tetapi backstage yang
tertekan seperti halnya drama turgi yang dikemukakan oleh Erfing Goffman. Para
penjaga kasir ini harus selalu tersenyum saat melayani pelanggan. Tapi, bahkan
mungkin tidak ada pelanggan yang peduli dengan
mereka. Para pelanggan hanya berpikir mereka harus dilayani tidak peduli
dengan keadaan para penjaga kasir tersebut. Itu adalah resiko pekerjaan yang
harus ditanggung penjaga kasir. Dengan status social yang dianggap kelas bawah
oleh para masyarakat.
Bekerja di bawah
tuntutan atasan membuat para karyawan baik itu di kantor ataupun toko terbiasa
dengan segala tindakan yang diatur dan mengikat mereka akan rutinitas yang
itu-itu saja. Walaupun, perbandingan pekerjaan mereka dengan gaji yang didapat
mungkin tidak senilai dengan usaha yang dilakukannya. Tapi, kebutuhan untuk
hidup yang meningkat mewajibkan mereka untuk bekerja demi memperoleh
penghasilan untuk memenuhi kebutuhannya.
Itu juga yang
dialami oleh para penjaga kasir toko waralaba. Para penjaga kasir ini bekerja
untuk kebutuhan hidupnya walaupun dengan status social rendah dilihat dari
pekerjaanya yang hanya sebatas menghitung jumlah harga barang belanjaan para konsumen.
‘Buruh fiktif’
yang di emban oleh para penjaga kasir ini, mempunya resiko pekerjaan
sendiri-sendiri. Adakalanya pekerjaanya menuntut tenaga yang harus diforsir
terus-terusan. Akan mengakibatkan stress yang bisa juga menganggu pekerjaan.
Stress yang
diakibatkan oleh pekerjaan yang menuntut tersebut, tidak juga harus dilakukan
terus menerus. Walaupun, sedang melakukan pekerjaan sebagai penjaga kasir,
mereka juga bisa bercanda dan tidak seserius seperti biasanya saat melayani
pelanggan. Ada yang melakukan aktifitas mengobrol dengan temannya, bermain
handphone sendiri, duduk-duduk santai di ruangan penyimpan barang. Ada saja
yang dilakukan para karywan toko waralaba untuk mengusir penat yang mendera
karena pekerjaan mereka. Khususnya para penjaga kasir itu sendiri.
Pekerjaan yang
mereka lakukan adalah sistem shift atau pergantian karyawan. Karena toko yang
dijadikan observasi adalah toko 24 jam yang harus buka terus-terusan. Tidak
mungkin juga hanya 1 orang saja yang bekerja. Mereka para penjaga kasir juga
tidak hanya benar-benar karyawan toko itu sendiri. Adakalanya para penjaga
kasir tersebut adalah siswa SMK yag sedang melakukan PKL (pendidikan kerja
lapangan). Biasanya ini dibedakan lewat seragam yang dikenakan oleh para siswa
tersebut, yaitu berpakain putih hitam yang berbeda dengan karyawan toko yang
sesunguhnya.
Pekerjaan para
penjaga kasir sendiri tidak selalu harus terus-terusan dianggap seperti kelas
rendah. Mereka akan berganti peran dan status jika mereka sedang berada di
luar. Pakaian dan gaya yang dikenakan oleh mereka akan mengubah status mereka.
Tidak akan ada yang tahu mereka bekerja sebagai apa. Karena pakaian juga bisa
menunjukkan status mereka sendiri di tengah para masyarakat.
Kesimpulannya,
walaupun para penjaga kasir ini mempunyai status rendah. Tetapi, mereka juga
punya perasaan untuk tidak dikekang dengan pekerjaan dan mereka terus
meningkatkan status mereka di masyarakat.
Nb: Observasi
dan foto yang diambil dilakukan di tempat Alfamart Jalan Jawa, Jember Jawa Timur
Komentar
Posting Komentar