Langsung ke konten utama

Pendhalungan, sebuah rekayasa budaya


Sebuah daerah memiliki berbagai macam budaya dan identitas masing-masing yang ditonjolkan untuk mengenalkan potensi daerah. Budaya yang ditunjukan bermuara pada proses pengenalan secara sadar dan mempengaruhi kesadaran masyarakat untuk membentuk konsensus bersama akan sebuah identitas kedaerahan. Daerah yang terkenal dengan alkulturasi budaya sangat kuat yaitu percampuran budaya antara Madura dan Jawa yang membentuk sebuah budaya baru. Kabupaten Jember salah satunya, sebuah wilayah di Jawa Timur yang memiliki sejarah panjang dalam terbentuknya proses alkulturasi budaya yang kuat. Kabupaten Jember mempunyai beberapa sisi menarik untuk para masyarakat Jember khususnya memahami ulang kembali bagaimana proses dari kota Jember itu sendiri. Tidak hanya sekedar terkenal akan Jember Fashion Carnaval yang sudah mendunia ataupun pusat penelitian kopi dan kakaonya, akan tetapi masih banyak lagi keunikan yang terdapat di dalam kabupaten Jember itu sendiri. Perpaduan beberapa budaya di Jember sendiri menghasilkan sebuah akulturasi budaya nyata yang hingga kini dikenal dengan nama pendhalungan.
Jember pada awalnya hanya wilayah kecil yang berada di bawah pemerintah Bondowoso. Namun karena pada saat itu penjajah membuat Jember menjadi industri perkebunan dan pemerintah Belanda juga meningkatkan pembangunan kota Jember mulai dari infrastrukturnya. Perkebunan-perkebunan yang ada di Jember kemudian menarik pendatang untuk bermigrasi ke Jember dengan tujuan mencari nafkah. Mayoritas penduduk yang bermigrasi ke Jember adalah suku Jawa dan suku Madura yang kemudian berakulturasi membentuk kebudayaan baru yang disebut “Pendhalungan”.
Pada 1 Januari 1928, secara fakta dan hukum mulai saat itu Jember berubah menjadi ibukota kabupaten. Dimulai dari ketentuan no 322 tanggal 9 Agustus 1928, berdasarkan staatblad. Jember ditetapkan sebagai Regentschap Djember. Tadinya Jember adalah salah satu wilayah Distrik dari Afdeling Bondowoso. Kota ini terletak di bagian timur Provinsi Jawa Timur. Sepeti dikutip dari Edy Burhan, Jember terkenal dengan perkebunan yang dibuat oleh pemerintah Belanda, diawali oleh George Birnie pada tanggal 21 Oktober 1859 bersama Mr. C. Sandenberg Matthiesen dan Van Gennep mendirikan NV Landbouw Maatsccappij  Oud Djember (NV. LMOD) yang mendirikan perkebunan swasta di Jember. Pemerintah Belanda selain membuat Jember sebagai perkebunan juga  mengatur tatanan kota Jember sebagai wilayah administratif. Dari munculnya perkebunan-perkebunan swasta milik pemerintah Belanda, mengakibatkan pertumbuhan kota Jember semakin pesat. Karena hal itu pula kota Jember menjadi terpisah dengan Bondowoso dan akhirnya pemerintah Belanda meningkatkan pembangunan kota Jember dimulai dari infrastrukturnya.

Budaya pendhalungan menjadi kearifan lokal kota Jember, dimulai dari sejarah kota Jember sendiri yang menjadi kota industri perkebunan awalnya. Karena dibangunnya kota Jember maka banyak para pendatang bermunculan, orang Jawa dan Madura menjadi yang dominan dalam mengusai kota Jember, ada juga etnis Tionghoa, Arab yang menjadi bagian dari kebidayaan Jember sendiri. Dari hal tersebut maka kota Jember adalah kota yang mempertemukan kebudayaan-kebudayaan lain sehingga menghasilkan budaya baru yaitu pendhalungan. Konsep pendhalungan sendiri seperti halnya periuk besar. Dalam wawancara Prof. Ayu Sutarto menjelaskan pandhalungan sebagai berikut “Yang disebut Pendhalungan itu kan pertemuan dua budaya besar kemudian menjadi saling bentur, kemudian terjadi saling mengisi. Setelah terjadi saling mengisi itu sampai kebudayaan, muncullah budaya Pendhalungan yang itu hybrid . Pendhalungan itu hybrid, dia bukan Jawa dan Madura, tapi dia dari awal Jawa dan Madura. iya seperti periuk besar itu kan mengacu kepada konsep Amerika melting post. Iya jadi mereka berkumpul kepada sebuah bejana yang besar Pendhalungan itu. Bagaimana budaya di Jember terbentuk dengan adanya akulturasi budaya Jawa dan Madura dan meghasilkan pendhalungan itu sendiri. Tipe kebudayaan orang pandhalungan adalah kebudayaan agraris-egaliter. Penanda simbolik yang tampak jelas dari tipe kebudayaan ini terdapat pada seni pertunjukan yang digeluti dan penggunaan bahasa sehari-hari yang secara dominan menggunakan ragam bahasa kasar (ngoko) dan bahasa campuran antara dua bahasa daerah atau lebih.

Budaya pendhalungan, khususnya yang berada di wilayah Jember tengah sebagai wilayah ruang kuasa pemerintah serta wilayah yang mempunyai perpaduan budaya Jawa dan Madura yang seimbang sangat diuntungkan dengan banyaknya massa. Dari awal mulanya pemerintahan kolonial di Jember saat itu memetakan tempat-tempat di wilayah Jember sesuai dengan etnisnya agar dimudahkan dalam hubungan sosialnya selain itu juga untuk meminimalisir pertentangan antar etnis. Pemerintah kolonial sendiri menempatkannya berdasarkan sistem kapitalis, yaitu kesadaran kelas yang dibangun antar tiap etnis. Antar etnis di setiap tempat pasti memiliki masyarakat pekerja yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pemerintah kolonial sendiri. Penempatan etnis di setiap wilayah tertentu pasti juga mempermudah bahasa kesehariannya. Wilayah-wilayah tersebut dibagi seperti etnis Jawa menempati wilayah selatan Jember, etnis Madura menempati wilayah utara, dan sebaliknya untuk etnis Tionghoa  berada di kampung pecinan dan Arab berada di kampung Arab, belakang masjid Jam’i.
Ketika membicarakan Pendhalungan, citra yang lebih banyak muncul adalah perpaduan antara dua tradisi besar, Jawa dan Madura. Pendapat tersebut tentu tidak lepas dari fakta bahwa kedua etnis tersebut merupakan warga mayoritas di wilayah ini. Membahas pendhalungan sendiri, ikut serta juga membahas tentang bahasa yang dipakai masyarakat Jember serta berbagai macam kesenian yang ada. Bahasa lokal menjadi berbeda di setiap tempat dan itu menunjukkan ciri khas dari tempat tersebut. Lalu analogi pengetahuan baru yaitu bahasa yang digunakan saat ini. Bahasa dominan, yang artinya pemegang kuasa tampil di hadapan realitas subyek, ada yang tampil dan mulai ada yang ditiadakan.Istilah bahasa ­Jember-an, berarti adanya campuran bahasa Jawa, Madura, dan juga bahasa nasional Indonesia sendiri. Budaya baru tersebut berbentuk, misalnya, Bahasa Jawa Dialek Jember, yang digunakan komunitas Madura dan Jawa yang bertempat  tinggal di kota dan pinggiran kota. Logat yang dipergunakan juga merupakan logat campuran dari akulturasi kedua bahasa tersebut, tidak bisa dilepaskan juga adanya bahasa Indonesia sebagai awalnya. Penduduk Jember sendiri juga berasal dari banyak daerah menurut budayawan Gus Oong “Tidak semua daerah punya budaya asli ada satu wilayah itu yang menjadi tempat perpindahan orang. Di jember ini penduduk aslinya mana? Jogja Malang numpuk disini, disini “miniatur Singapore” Karena disini dulunya hutan ya kalau orang aslinya sini aslinya orang hutan, kemudaian orang yang datang kesini membawa budayanya masing-masing.” Bahasa menjadi salah satu alat pemersatu dalam masyarakat Jember. Penggunaan bahasa sebagai salah satu contoh bagaimana proses akulturasi tersebut. Ranah bahasa yang digunakan oleh subjek dapat membaur dengan publik itu sendiri. Dengan tidak adanya yang dominan itu sendiri, media menjadi salah satu yang bisa membawa bahasa, baik itu lokal atau metropolis menjadi satu dalam ruang publik itu sendiri.
Munculnya akulturasi budaya di Jember membuat banyak budaya yang dikembangkan seperti halnya kesenian daerah reog, tari lah bako, can macanan kaduk, Ta’ butaan. Jika menelisik kembali asal kebudayaan tersebut, tidak sepenuhnya bisa dikatakan sebagai budaya Jember. Seperti yang diungkapkan Gus Oong mengenai kesenian d Jember “Yang ada di jember ini bawaan dari budaya budaya yang lain. Kesenian kesenian seperti tari lah bako ciptaan pa Bagong bukan orang Jember, orang Jogja, hanya rekayasa. Diundang ke Jember untuk tarian Lah bako karena sumber hasil pertanian pertama ya tembakau. Jelas di Jember, tapi yang bikin bukan orang Jember. Ada ritual yang dilakukan untuk melakukan kegembiraan sehingga menjadi tarian. Rekayasa budaya semua.”
Masyarakat Jember dengan akulturasi budaya yang ada dan terus dikembangkan hingga saat ini menjadi budaya “baru” yang semakin diperbaharui. Menilik lebih dalam budaya masyarakat Jember saat ini yang semakin berkembang dan menunjukan identitas pembahuran dengan menggabungkan dua budaya besar, hal ini tidak dapat dipisahkan dengan historisitas yang terjadi sampai terbentuknya budaya baru yang disebut budaya Pendhalungan. Kesadaran yang dibangun oleh masyarakat saat ini bukan budaya asli dari daerah yang dibawa tetapi dicampur dengan budaya sudah ada alhasil terjadi masyarakat Jember sekarang tidak tahu asal muasal budayanya.
Proses akulturasi dua budaya mayoritas Jawa dan Madura menjadi pembiasan masyarakat saat ini. Perpaduan budaya dalam masyarakat Jember yang biasa dibilang budaya “Jemberan” lekat dalam masyarakat. “Jemberan” secara kontekstual dalam masyarakat menjadi “alat” untuk menikmati budaya-budaya baru yang diciptakan dan divisualisasikan dalam berbagai macam budaya yang ada. Masyarakat “Jemberan” saat ini menjadi hasil dari rekayasa budaya yang dibuat oleh beberapa kepentingan. Terjadinya rekayasa “Jemberan” saat ini apakah tetap menjadi pertanyaan terulang yaitu siapakah sebenarnya masyarakat asli Jember? Banyaknya lentingan-lentingan sejarah mengenai asal-usul Jember masihkah ditelusuri ataukah hanya menjadi konsumsi penikmat pencari kebenaran.




Diterbitkan di Majalah PRIMA
UKMF PRIMA FISIP UNIVERSITAS JEMBER


Komentar

Postingan populer dari blog ini

chord piano vierra rasa ini

tipe-tipe kepribadian manusia

Tipe Kolerik Tipe kolerik adalah juga tipe terbuka tetapi biasanya tingkat keterbukaannya lebih rendah daripada tipe Sanguin yang super terbuka. Orang Kolerik adalah juga orang yang aktif, semangat pekerja keras, ambisius, motivator bagi orang lain. Karena sifatnya yang berkemauan keras mandiri dan berpendidikan keras, orang kolerik cenderung keras kepala. Kompromi merupakan hal yang sangat sulit bagi mereka kecuali kompromi

Change From Past to Future

sudah lama ga ngeblog ternyata saya. Ternyata sekarang saya adalah seorang mahasiswi dari Universitas Jember tepatnya fakultas ilmu sosial ilmu politik jurusan Sosiologi. kenapa masuk di sana, jangan ditanya. saya sudah bosan menjawabnya. change from past to future apakah sudah demikian? jawabannya sudah untuk lingkungan, tapi belum (menemukanya) untuk pribadi. saya sendiri tidak mengerti untuk apa saya di sini. haruskah saya mengerti itu?